Hallo...

menghargai hak cipta sebagai usaha orang lain dalam berkarya berarti menghormati diri sendiri sebagai insan yang bijaksana

12 Agustus, 2014

Doa Kami

Tak pecah sunyi
Malam gelap adanya
Larut teraduk sepi
Tiada alasan tuk terjaga
Episode hari menanti
Bersama belahan hati
Ada mentari diujung pagi
Burung-burung kan bernyanyi
Tralala-trilili.....
Suara alam bertasbih memuji
Tentang kebesaran Illahi
Jadi saksi tentang hari terlewati
Masapun berganti-ganti
Yang keberapa kini
Tak mampu kami...
Menghitung hari
Yang memenuhi mimpi
serta janji
Di hari nanti
Dan tak pernah tahu kapan ditemui
Doa kami
Semoga diberkahi...

Iman Dititik Lemah

Sejauh mata ini memandang, Rasanya tak mudah melukiskan gambaran yang nampak dari penglihatan kedua mataku.Meski terlihat sedikit buram dengan sinaran tampak pias, keluhku hanya menunggu tanpa bisa berbuat banyak.sekedar diam menerawang gambar demi gambar berseliweran membuat pedih.Sedangkan dari telingaku terdengar orang mencibir dengan apa yang aku lakukan.Untuk apa melukisnya?. Dan aku bisa jawab apa.Tak juga usai... Duh lukisanku...Gerutuku akankah sia-sia? Pendirian ini seakan goyah tapi tidak... biarlah diamku yang akan menjawab dengan bergulirnya waktu karena iman ini berada dititik yang lemah.

Selagi Bernyawa

Memeluk malam dalam gelap,
Memanggil lelap.berselimut doa. . .
Berbantal sebuah asa.
Indah damai terasa.
Telah tercurah segala usaha
Menunggu buah kebaikan dalam keikhlasan.
Serasa mengejar akherat 
Namun serasa jauh tak juga usai.
Dan mati menanti dipenghujung usia
Sekiranya muda atau tua.
Sedangkan cinta dunia 
Senantiasa sibuk mengintai...
Selagi nyawa dikandung badan.

Oh Kebenaran


Kebenaran oh kebenaran 
Dengan kaca mata apa ku bisa meraihmu,
Karena kau tak tergapai
Dan terasa asing
Hingga ku sulit menggenggammu... 
Bukankah kebenaran dan keadilan seharusnya bersanding,
Sungguh geram hatiku
Mesti mengais-ngais kebenaran
Dalam kegelapan zaman.

Ketika Harus Memilih


Tentang mereka yang akan dipilih, Tentang sosok mereka yang terus bergulir, Tentang siapa yang kita pilih sebagai mayoritas yang dihitung disana juga disini. Lalu pertanyaannya sejauh mana kita mampu mengoreksi gagasan mereka dari hulu hingga ke hilir, Inilah asas demokrasi yang dipilih. Secerdas apa kita mampu memilih. Seberapa banyak kita mampu menyaring acara perdebatan mereka lalu menilai untuk menjatuhkan mana yang lebih baik. Jadi bertanya kesempatan memilih ini pangkal kelemahan atau kelebihan. Rasa dilematis itu ada karena ada kekhawatiran jika nanti pilihan kita berujung pada kekecewaan. Padahal bingung bukan pilihan. Karena kita dituntut untuk memilih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memilih untuk menunjuk seorang pemimpin. Pemimpin kita nanti adalah cerminan dari kita yang jumlahnya sangat tidak sedikit.Dari berbagai suku dan agama juga dari tingkatan elemen masyarakat yang nota bene berbeda. Sebagai manusia yang berprinsip sudah pasti punya alasan kenapa memutuskan satu pilihan. Bukankah ada keyakinan yang berbicara namun jika keyakinan tak sanggup berbicara mengapa kita tak melihat siapa saja orang yang mengelilingi mereka.Jika kita tahu satu diantara mereka dikelilingi orang yang kita tahu baik secara agama dan individu mengapa kita tak memberi alasan menjatuhkan pada satu pilihan dengan tak lupa menakar kualitas dan kapabilitasnya. Bukankah kita tak ingin membeli kucing dalam karung? Lantas bila tak juga keputusan berpihak maka sebagai manusia yang berasas ketuhanan ada baiknya mintalah petunjuk kepada-Nya. Menyadari tantangan zaman yang terus bergolak menguji kekuatan iman kita.

Entah Apa Jadinya

Telah hampir tiba diujung waktu
,ketika telah kita pilih siapa itu,
Lantas kita menunggu,
Kemana takdir menentu,
Tentang nantinya menjadikan sesuatu
Atas mimpi dan harapan menjadi satu,
Antara kita dan doa tulus kita,
Apalagi dibulan ramadhan bulan  teristimewa,
Teruntuk demi negeri kita tercinta,
Tak mau ada huru-hara,
Apalagi gelisah menderu didada,
Masih berharap akan ada cerita indah untuk anak-cucu kita,...
(rasa terkesiap tiba-tiba ragu dan galau berbaur haru,"entah apa jadinya")

21 Juni, 2014

Air Ke Bumi

Sinar lampu bumi meredup
Segerombol awan kelabu merayap dinding angkasa
Menghamburkan air kebumi
Bermain-main api cetar menggetar...,
Meramaikan jagad alam bumi
Gaduh
Riuh...
Dingin-dingin sejuk menaungi
Musim hujan datang siap menguji
Entah Seberapa tangguh?
Apapun bisa terjadi
Menjadi pelajaran bagi hamba Allah yang mampu merenungi
Karena seharusnya tugas kita mensyukuri
Segala apa yang diberi dari-Nya
Bukankah Dia yang Maha Tahu apa yang terjadi
Hari ini dan esok nanti
Hanya kepada-Nya kita akan kembali.

Maghrib Bikin Aku Ngakak

Tepatnya tanggal 27 Mei 2014.....
Sepulang dari aktifitas disore itu kami menuju Pantai Pemandian Kartini Jepara




Mendengar azan magrib kami memutuskan pergi dari tempat ini untuk menuju masjid terdekat melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Selepasnya kami membeli bubur untuk dibawa pulang entah apa setelah ganti baju rumahan aku mengambil airwudhu dengan tergesa-gesa mengingat maghrib hampir habis karena jarum jam menunjukkan setengah tujuh kurang lima menit.
Dia masuk kamar ketika kuselesaikan tahiyat akhirku dan berdoa seperti biasa,ketika belum lama ku berdoa dia bertanya heran "Lha tadi di masjid ngapain kok baru sholat?..." Aku spontan tertawa menyadari sesuatu yang terjadi padaku.  "Semangat banget sholat maghribnya..." Ujarnya.

Tentang Mereka Yang Satu Untuk Kita

Tentang mereka yang akan dipilih, Tentang sosok mereka yang terus bergulir, Tentang siapa yang kita pilih sebagai mayoritas yang dihitung disana juga disini. Lalu pertanyaannya sejauh mana kita mampu mengoreksi gagasan mereka dari hulu hingga ke hilir, Inilah asas demokrasi yang dipilih. Secerdas apa kita mampu memilih. Seberapa banyak kita mampu menyaring acara perdebatan mereka lalu menilai untuk menjatuhkan mana yang lebih baik. Jadi bertanya kesempatan memilih ini pangkal kelemahan atau kelebihan. Rasa dilematis itu ada karena ada kekhawatiran jika nanti pilihan kita berujung pada kekecewaan. Padahal bingung bukan pilihan. Karena kita dituntut untuk memilih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memilih untuk menunjuk seorang pemimpin.
Pemimpin kita nanti adalah cerminan dari kita yang jumlahnya sangat tidak sedikit.Dari berbagai suku dan agama juga dari tingkatan elemen masyarakat yang nota bene berbeda. Sebagai manusia yang berprinsip sudah pasti punya alasan kenapa memutuskan satu pilihan. Bukankah ada keyakinan yang berbicara namun jika keyakinan tak sanggup berbicara mengapa kita tak melihat siapa saja orang yang mengelilingi mereka.Jika kita tahu satu diantara mereka dikelilingi orang yang kita tahu baik secara agama dan individu mengapa kita tak memberi alasan menjatuhkan pada satu pilihan dengan tak lupa menakar kualitas dan kapabilitasnya. Bukankah kita tak ingin membeli kucing dalam karung? Lantas bila tak juga keputusan berpihak maka sebagai manusia yang berasas ketuhanan ada baiknya mintalah petunjuk kepada-Nya. Menyadari tantangan zaman yang terus bergolak menguji kekuatan iman kita.

01 Juni, 2014

Istana Harapan

Lukisan telah tertoreh semirip senja
Warna goresannya tak juga kunjung usai
Seolah rasaku yang tak pernah menghabisi
Jika malam tiba dengan segala gelapnya

Namun damai dalam gelap bisa kurasakan

Saat kau disisiku
Tak lelah mendekapku
Mencurahkan segala keingianmu
Seperti esok selalu ada buatmu

Dan harapan tercecer diatas sinaran

Yang berkemilau
Entah untuk berapa lama
Akupun berniat hati mengambil harapan itu
Menyalakan sinar dalam waktu lama

Aku mau memungutnya dan kusimpan

Akupun ingin kau membangunnya
Sebuah rumah istana harapan untuk kita
Tempat menaungi segala apa yang jadi keinginan kita
Barangkali Tuhan menitipkan amanah

Karena kita telah terlanjur jadi satu
Kau rajaku dan aku ratumu...
Semoga istiqomah dijalan-Nya